A. Aplikasi Bidang Pendidikan
1. Amal Usaha Muhammdiyah Di Bidang Pendidikan
Berdasarkan data terbaru Profil Muhammadiyah amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan berjumlah 5.797 buah, merupakan angka yang cukup fantastis untuk sebuah lembaga pendidikan yang dinaungi dalam satu payung organisasi dengan rincian:
a. 1132 Sekolah Dasar
b. 1769 Madrasah Ibtidaiyah
c. 1184 Sekolah Menengah Pertama
d. 534 Madrasah Tsanawiyah
e. 511 Sekolah Menengah Atas
f. 263 Sekolah Menengah Kejuruan
g. 172 Madrasah Aliyah
h. 55 Akademi
i. 70 Sekolah Tinggi
j. 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Total jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sebanyak itu merupakan bilangan yang cukup fantastis bagi sebuah organisasi sosial keagamaan dimanapun. Apalagi keberadaan lembaga pendidikan tersebut merupakan pengejawantahan dari model pemahaman keagamaan di Muhammadiyah. Inilah yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan, pemahaman atau idiologi apa yang diterapkan oleh Muhammadiyah dalam mengurusi lembaga pendidikan yang sebesar itu. Mungkin langsung timbul sebuah jawaban dari pertanyaan tersebut “tentu saja idiologi Islam yang di gunakan” karena Muhammadiyah berasaskan Islam
Maka perlu dikaji lebih dalam lagi seperti apa lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai dari sejarah berdirinya sampai dengan sistem atau idiologi apa yang sebenarnya digunakan oleh Muhammadiyah untuk mengelola lembaga pendidikannya sekarang sadar ataupun tidak sehingga.
2. Sejarah Berdirinya Lembaga Pendidikan Muhammdiyah
Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, berdirinya Muhammadiyah juga didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag dalam bukunya Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, Keagamaan Modernis mengatakan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam. Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang mendasari Muhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan yang berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang diselenggarakan dalam pondok-pondok pesantren dengan Kurikulum seadanya. Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode srogan (murid secara individual menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode Halaqah) dalam pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif, membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidak diberikan.
Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikan tersebut, maka perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama, seangkan tipe kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif srta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan berpandangan negatif terhadap agama.
Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah coba menggabungkan hal-hal yang posistif dari dua sistem pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara idiologis dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu utnuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun agama, dan memiliki keasadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyrakat. Sedangkan aspek praktisnya adalah mengacu kepada metode belajar, organisasi sekolah mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern. Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir yang mengedepnkan tajdid atau tanzih dalam setiap pemikiran dan gerakannya bukan ulama atau pemikir yang pada kemapanan yang sudah ada karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua sistem tersebut coba untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.
3. Realita Sistem Pendidikan Muhammdiyah
Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah diatas telah menunjukkan kepada kita bahwa pada awalnya lembaga pendidikan Muhmmadiyah itu didasari atas realita pendidikan dengan kedua sistem tersebut tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah untuk mencetak manusia yang mampu mengusung tajdid dan tnajih gerakan bahkan pula tidak mampu mencapai tujuan pendidikan dalam arti khusu yaitu khusus yaitu pendidikan sebagai proses pembentukan dan pengembangan jiwa. Model pendidikan seperti itu hanya menempatkan objek didik sebagai gudang kosong atau murid dianggap berada dalam kebodohan absolut. Menyadari dua sistem tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah maka KHA. Dahlan merumuskan sebuah sistem baru model pendidikan dengan menggabungkan sistem posistif dari dua sistem tersebut demi mencetak manusia yang mempunyai landasan gerakan tjdid dan tanzih dalam koridor Islam, dan mengesampingkan status sosial maupun fasilitas yamg ada.
Tetapi apa yang dapat kita lihat saat ini sungguh merupakan kebalikan dari sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhmmadiyah. Lembaga pendidikan Muhmmadiyah yang ada saat ini ternyata lebih mementingkan sarana fasilitas yang akan membawa nama besar sekolah untuk menggapai yang namanya prestise dan untuk menarik banyak orang masuk ke lembaga pendidikan tersebut dan mengesampingkan seperti apa manusia yang akan dihasilkan dikemudian kelak. Belum lagi kita menjumpai bahwa di beberapa perguruan Muhammadiyah masih sering menggunakan metode sorogan dan wton tetapi dengan gaya baru. Tidak lagi duduk bersimpuh sudah duduk dikursi empuk, tidak lagi menggunakan kitab tetapi menggunakan alat-alat canggih yang semakin membuat si guru semakin nyaman duduk di kursi empuknya dan hanya menerangkan pelejaran dari kursinya tersebut. Peserta didik yang ada hanya menjadi subjek didik yang pasif tanpa adanya proses dialogis dalam teknik pengajaran. Disinilah terjadinya stagnasi terhadap pencetakan kader tadi. Para subjek didik terus dianggap sebagai seorang yang memiliki kebodohan absolute. sistem yang banyak digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah yang akan mematikan potensi kreatifitas berpikir subjek didik, dan posisi subjek didik hanya sebagai gudang penyimpanan yang tidak tahu untuk apa barang yang disimpan digudang otak mereka.
Maka pertanyaan “apa sebenarnya sistem yang digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah dapat terjawab. Jika kita lihat sistem pendidikan Muhmmadiyah yang ada sekarang lebih condong kepada sistem Liberal di satu sisi dan disisi lain sistem konservatif. Sistem liberal dalam pengelolaan sekolah dan sistem konservatif dalam sistem pengajaran. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem pendidikan liberal lebih memecahkan masalah pendidikan dengan usaha “Reformasi Kosmetik” (Pendidikan Popular) yang lebih menekankan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah serta berbagai usaha untuk meningkatkan rasio murid-guru. Sedangkan sistem pendidikan konservatif adalah sebuah sistem pendidikan yang seperti dikatakan diatas (sorogan dan weton) menempatkan murid berada dlam kebodohan absolut dan guru dalam kebenaran absolut sehingga murid tidak di perkenankan untuk berpikir, hanya menerima pelajaran dari si guru dan ini merupakan sebuah kemapanan yang harus di prtahankan.
Jelas sudah terjawab, mengapa kader tajdid dan tanzih serta produk tajdid Muhammadiyah mengalami kemunduran, karena sistem pendidikan yang digunakan saat ini adalah sistem yang mendukung untuk mematikan kreatifitas berfikir. Maka kritikan yang mengatakan bahwa Muhammadiyah seperti “Gajah Bengkak” tidak salah diberikan, karena dengan fasilitas pendidikan yang cukup fantastis dan luar biasa banyak ternyata tidak mapu untuk melakukan gerak dinamis.
4. Qou Vadis Sisitem Pendidikan Muhamdiayah
Solusi untuk menjawab ini semua sebenarnya sudah dijawab dan dicontohkan oleh KHA. Dahlan sendiri ketika awal mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah seperti yang telah dijelaskan diatas. Qou Vadis sistem pendidikan Muhmmadiyah adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan. Contohnya sudah dilakukan oleh KHA.Dahlan sendiri dengan membuat sebuah terobosan baru dalam sistem pendidikan saat itu, maka Muhmmadiyah saat ini yang umurnya menjelang satu abad juga harus melakukan terobosan baru dalam sistem pendidikan yang ada (Tajdid Pendidikan), agar kader tajdid dan tanzih serta ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid dan tanzih tidak hilang sehingga cita-cita lembaga pendidikan Muhmmadiyah segera terwujud.
B. Aplikasi Bidang Sosial
Berdirinya organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah tidak terlepas dari sumbangsih empat kuartet bersaudara. Mereka amat dihormati oleh warga Muhammadiyah, dari sejak dulu hingga kini. Mereka merupakan generasi pertama gerakan Muhammadiyah yang langsung di bawah bimbingan KH Ahmad Dahlan. Empat bersaudara tersebut antara lain:
1. H Muhammad Sudjak
2. KH Fakhruddin
3. Ki Bagus Hadikusuma
4. KH Zaini.
H Muhammad Sudjak sebagai pimpianan PKU (Penolong Kesengsaran Umum) Muhammadiya berpegang pada realitas bahwa telah banyak orang non-Muslim yang dapat mendirikan rumah sakit, rumah miskin, dan rumah yatim piatu hanya karena dorongan rasa kemanusiaan tanpa didasari rasa tanggungjawab kepada Allah SWT. Jika umat non-Muslim saja mampu melakukan aksi-aksi sosial, mengapa umat Islam yang mempunyai landasan agama tidak dapat melakukannya.
Terinspirasi dari realitas tersebut, pimpinan PKU Muhammadiyah, berencana untuk mendirikan beberapa amal sosial seperti rumah sakit, rumah miskin, dan rumah anak yatim. Perlahan tapi pasti Muhammadiyah mampu mendirikan rumah sakit di Yogyakarta serta mendirikan rumah miskin dan panti anak yatim di mana-mana sebagai amal usaha-amal usaha andalan di bidang sosial.
C. Aplikasi Bidang Kultural
Analogi agama dengan biola yang dibuat KH Ahmad Dahlan seperti dilukiskan dengan dalam film Sang Pencerah, merupakan perumpamaan yang tepat. Agama memang seperti biola, alat musik yang tampak sederhana tapi bisa mengeluarkan suara yang bermacam- macam. Seperti biola, agama adalah sebuah alat yang sederhana, yang dapat membuat manusia merasa nyaman dan tenteram, tapi juga bisa membuat manusia cemas dan gundah.
Tergantung siapa yang memainkannya. Jika agama ”dimainkan” oleh seorang yang piawai dan mengerti inti dan tujuan agama, ia akan mengeluarkan dampak yang luar biasa bagi orang di sekelilingnya. Agama menjadi mata air yang sejuk dan menentramkan,di mana orang akan mengitarinya, mereguknya, dan tak ingin jauh darinya. Agama yang dipraktikkan secara benar akan membuat dunia ini aman-damai.
Sebaliknya, agama yang ”dimainkan” oleh orang yang tak mengerti inti dan tujuan agama, ia akan menjadi bencana yang tak ada habis-habisnya. Ia bukan hanya membuat hidup pelakunya tidak tenteram, tapi juga mengganggu orang-orang di sekelilingnya. Agama menjadi sumber malapetaka bagi orang lain. Agama yang dipraktikkan secara keliru akan membuat dunia porak-poranda, dipenuhi kebencian dan kekerasan yang tak berujung.
Hari-hari ini kita menyaksikan agama yang dimainkan secara sumbang oleh cukup banyak orang di sekeliling kita. Tingkat kesumbangannya bermacam-macam,dari yang memekakkan telinga, mengganggu pandangan,menodai akal sehat, hingga membuat kita ingin lari meninggalkannya karena tak tahan lagi menyaksikan kebusukan-kebusukannya. Sesekali kita menyaksikan agama yang dimainkan secara syahdu, damai, dan menenteramkan.
Tapi, itu jarang sekali.Tidak tampak di ruang-ruang publik. Kita harus mencarinya di taman-taman spiritual, di kelompok-kelompok sufi, dan di ruang-ruang diskusi keagamaan yang mencerahkan. Kita memang sedang mengalami krisis tokoh agama yang mampu memberi pencerahan seperti yang dilakukan KH Ahmad Dahlan satu abad silam.Tokoh-tokoh agama yang kita saksikan belakangan ini, justru lebih banyak yang memainkan peran antagonis yang memusuhi pembaruan KH Ahmad Dahlan.
Tokoh tokoh agama yang kita saksikan akhir-akhir ini adalah tokoh tokoh yang dihadapi KH Ahmad Dahlan satu abad silam, yakni tokoh tokoh yang antibiola, anti-Barat, antiasing, dan anti pemikiran pemikiran baru yang mencerahkan. Hanya sedikit dari mereka yang memerankan Kiai Dahlan dan berusaha meneruskan semangat perjuangan kiai pembaru itu.
Pembaruan agama adalah sebuah keniscayaan. Wahyu sudah berhenti sejak 14 abad silam, tapi akal pikiran manusia terus berkembang. Perubahan di sekeliling kita terus terjadi tapi halaman halaman dalam kitab suci tidak bertambah. Banyak persoalan baru yang dihadapi manusia, yang tidak semuanya bisa dijawab oleh kitab suci dan doktrin agama. Para pembaru Muslim, sejak Imam Syafi’i hingga Syafii Maarif (penerus cita-cita KH Ahmad Dahlan yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah), menyadari betul bahwa dunia berubah terus dan ada keterbatasan dari kitab suci.
Di sinilah diperlukan ijtihad, keberanian berpikir, untuk mengatasi kebuntuan yang tidak ditemukan jawabannya dalam kitab suci. Sejak dulu para pembaru muslim menyadari betul bahwa pembaruan agama memang bukan persoalan mudah. Selalu ada tantangan dari masyarakat yang sudah merasa nyaman dengan pikiran-pikiran lama, yang sesungguhnya tidak lagi cocok dengan situasi zaman yang baru.
Sebagian pikiran pikiran lama itu membuat kita gelisah karena dapat mengancam tatanan kehidupan yang semakin beragam. Pembaruan adalah sebuah keniscayaan dalam agama. Islam sendiri mengakui bahwa setiap seratus tahun akan muncul pembaru agama (mujaddid) yang akan memperbaharui ajaran-ajaran yang tidak lagi cocok dengan semangat zaman. KH Dahlan dan beberapa tokoh agama di awal abad silam telah memainkan perannya sebagai pembaru di negeri ini.
Kini kita memerlukan pembaru abad ini yang akan meneruskan cita-cita dan semangat KH Ahmad Dahlan. Kita memerlukan para pembaru dan tokoh-tokoh agama yang bisa memainkan ”biola” secara merdu, syahdu, dan menenteramkan. Sudah terlalu banyak pemain ”biola” yang membuat kita sakit telinga karena atraksinya yang buruk dan mengecewakan. Kita harus membuka diri,memberikan ruang buat pembaruan agama, agar ”biola” kita tak lagi terdengar sumbang.